Ditulis oleh: Marsa Ariella | santri KMI ULYA 3 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil
Memutuskan untuk menjadi penghafal Al-Qur’an bukan suatu hal yang mudah. Karena kita harus menerima apapun konsekuensi terhadap apa yang kita putuskan. Al-Quran bukan sekadar bacaan. Di dalamnya terdapat banyak sekali pedoman hidup bagi manusia terutama umat Islam. Kalau ditanya apa yang memutuskanmu menjadi penghafal Al-Qur’an? Mungkin sebagian orang akan menjawab karena ingin mendapatkan syafaat dihari kiamat, ingin memberi mahkota dan jubah untuk orang tua kelak diakhirat, ingin membanggakan kedua orang tua dan lain sebagainya. Namun bisa jadi sebaliknya karena suruhan orang tua, keinginan keluarga atau bahkan karena ingin mendapatkan beasiswa saat kuliah. Nah ini nih, Menghafal Al-Qur’an itu bukan untuk dikompetisikan, itu hanya sarana untuk menempa diri dalam keikhlasan. Mereka yang mendapatkan mandat bukan hanya mereka yang memiliki kecerdasan otak, tetapi juga yang paling teguh hatinya. Mulailah perjuangan menghafal dengan keyakinan, sebab keraguan bukan milik orang-orang yang benar-benar ingin menghafalkan Al-Qur’an. Terkadang yang membuat kita sulit menghafal karena kita tidak yakin dengan diri sendiri bahwa kita bisa menghafalkannya. Menghafal itu harus dilandasi dengan cinta, kenapa? Karena sesuatu yang dilandasi dengan cinta akan dijaga dengan sepenuh hati oleh Allah SWT. Ketika memutuskan untuk jatuh cinta dengan Al-Quran, kita harus memiliki alasan yang tepat demi kebahagiaan. Kita harus lebih banyak berinvestasi daripada sekadar menghargai. Kita dan dia harus jatuh cinta terus menerus.
Menghafal Al-Qur’an haruskah di pesantren? Noo!! Kita bisa menghafal Al-Qur’an dimanapun asal ada tekad dan azzam yang kuat. Mungkin menghafalkan Al-Qur’an diluar pesantren itu butuh mental baja. Karena godaan diluar akan sungguh luar biasa, kita akan disuguhkan berbagai pemandangan yang bermacam-macam. Ada aneka tempat-tempat nongki yang cozy, bisa begadang nobar dan lain sebagainya sehingga mengantarkan kita kepada kemalasan untuk menghafal Al-Qur’an. Ketika melihat teman-teman kita berbusana bisa dibilang tidak menutup aurat, fokus kita akan terganggu dan kita akan dilema menentukan jalan yang tepat untuk mempertahankan hafalan kita dengan menjaga untuk menjauhi maksiat atau ikut serta bersama mereka. Ketika banyak nya perkembangan zaman sekarang yang tidak sesuai dengan syariat kita akan terganggu karena dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman, atau seperti orang tua yang pikirannya kolot dan lain sebagainya. Belum lagi judgement dari keluarga yang memandang bahwa diri kita seperti tidak mau menerima perubahan zaman atau lain sebagainya. Berbeda ketika menghafal Al-Qur’an di pesantren. Alam yang didapat adalah alam yang kondusif untuk penghafal Al-Quran, bahkan bisa dibilang adalah alam para malaikat.
Karena semuanya barbau akhirat seperti ada teman-teman yang menghafal Al-Qur’an di berbagai sudut, ada lantunan Al-Qur’an dimana-mana, ada lisan-lisan yang berbau surga, itulah alam malaikat karena semuanya adalah kebaikan. Kita akan di kelilingi oleh orang-orang yang bertekad menghafal Al-Qur’an, belajar ilmu dien, dan lain sebagainya yang tentunya untuk mengejar surgaNya Allah SWT.
Dalam menghafal Al-Qur’an pasti akan ada lika-liku perjuangannya. ini bukan tentang tujuan yang kita tetapkan dalam hidup, melainkan tentang membuat pengorbanan yang tepat demi mencapainya. Setiap orang memiliki potensi untuk menjadi luar biasa dalam apa yang mereka lakukan. Yang diperlukan hanyalah menemukan satu hal yang memicu minat dan gairah, yaitu membuat hafalan tidak terasa seperti beban. Mungkin diawal kita merasa semangat karena ayat-ayat nya masih mudah untuk dihafal tetapi ketika sudah semakin lama bertambah ayat yang dihafal akan semakin sulit dan bisa jadi rasa semangat itu memudar ketika tidak ada dukungan atau motivasi dari orang lain. Kita membutuhkan orang lain untuk mendapatkan bimbingan peluang, bertumbuh, dan mencapai potensi kita. Sebenarnya seorang hafidz itu kuat, namun juga perlu untuk dikuatkan. Mungkin secara dhohir seorang penghafal Al-Quran itu kuat, karena mereka terus menerus membaca Al-Quran, terus menerus menghafal ayat Qur’an dari pagi siang sampai malam. Namun pernakah kita berpikir tentang bagaimana mereka istiqomah dalam taat? Kadang disaat mereka mengalami kesulitan dalam menghafal, datang bisikan syaitan untuk memporak porandakan hati dan usahanya. Dan untuk menghadapi ini semua mereka butuh dikuatkan, disupport habis-habisan, karena mereka tetap manusia biasa. Minimal dengan ucapan maupun tulisan yang bisa membangun semangat mereka untuk jatuh cinta bersama Al-Qur’an lagi. Dan ingat apapun yang terjadi jangan sampai kita berhenti ditengah jalan. Berjalanlah meski tertatih, karena barangsiapa yang berjalan dijalanNya maka pasti akan sampai pada tujuan dan bersabarlah untuk mengulang-ulang ayat dan surah tersebut karena tidak ada kelezatan apapun yang menyamai kelezatan saat kita bisa menyelesaikan hafalan dengan mutqin. Seorang penghafal Al-Quran tidak bisa mutqin sendirian, tidak bisa istiqomah sendirian dan tidak bisa bertahan bersama Al-Qur’an sendirian. Perlu orang lain untuk mengingatkan dan butuh teman untuk menguatkan, agar Al-Qur’an yang setiap hari kita perjuangkan selalu diingat dan tetap selalu berada dihati kita.
Seringkali ketika sedang semangatnya dalam menghafal Al-Qur’an membuat lupa bahwa tujuan menghafal adalah untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, bukan ajang banyak-banyaknya hafalan. Lebih semangat dalam menambah hafalan namun malas memurojaahnya itu adalah sebuah kesalahan. Lalu dimana tanggung jawab kita sebagai seorang penghafal. Nabi SAW memerintahkan agar selalu menjaganya supaya tidak lupa beliau bersabda “Jagalah (hafalan) Al-Qur-an, demi dzat yang jiwa saya ada ditanganNya, sesungguhnya Al-Qur’an itu sangat cepat terlepas melebihi (lepasnya) unta dari ikatannya.”(H.R. Bukhari dan Muslim). Tidak selayaknya seorang penghafal lalai dari membacanya dan tidak maksimal dalam menjaganya. Seharusnya kita meluangkan waktu untuk memurojaah agar dapat menghindari dari lupa sekaligus mengharap pahala dari Allah SWT. Bagi penghafal Al-Qur’an kehilangan hafalan merupakan salah satu patah hati terbesar. Murojaah tapi tidak lancar-lancar adalah luka yang indah bagi para hafidz, tidak hafal dan tidak lancar itupun luka tapi pahalanya keindahan. Tidak ada kata terlambat untuk memurojaah sekalipun seluruh hafalan sudah terasa seperti mengulang dari nol lagi, tetaplah pada jalur perjuangan ini sesulit apapun jalannya tetaplah istiqomah. Menghafal alquran adalah keadaan yang berkembang yang harus selalu diperbaiki dan di tingkatkan. Hanya saja semua itu tidak bisa kita selaraskan apabila kita tidak bahagia. Happiness is state of mind. Kita tidak bahagia dengan hafalan kita bisa jadi karena kita belum memutuskan untuk bahagia. Salah satu momen kebahagiaan dalam hidup adalah ketika kita memiliki keberanian melepaskan apa yang tidak bisa kita ubah. Ya memutuskan untuk menjadi penghafal Al-Qur’an sejati. Kebahagiaan itu seperti gelombang lautan yang menerpa bibir pantai, sesekali datang, sesekali hilang. Namun, kebahagiaan akan selalu menemukan-mu. Kebahagiaan yang berasal dari keinginan akan terasa lebih baik daripada kebahagiaan yang berasal dari keharusan.
Semua itu butuh waktu tidak ada angka ajaib dalam menghafal Al-Qur’an. Jalan kita masih panjang kalau sekarang kita masih belum menyelesaikan nya maka teruslah berjuang. Bukankah tidak ada yang instan didunia ini? Seorang balita pun ketika belajar berjalan akan takut dilangkah pertama tapi apakah orang tua akan menghentikan upayanya? Tidak, mereka justru akan terus mendorong dan menyemangatinya sampai dia bisa berjalan dengan baik. Ini tidak jauh berbeda dengan penghafal Al-Qur’an. Ayat Al-Quran mencakup elemen yang mirip harta karun kecil-kecil tersebar di peta harta yang besar. Dengan kata lain membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan. Perlahan-lahan kita akan dapat menghafalkan dan menyatukan potongan-potongan ayat dalam al-quran. Ketika memulai menghafal Al-Qur’an kita harus berani malu. Mungkin terdengar konyol, tetapi mampu menahan malu dan merasa bodoh merupakan bagian dari mencapai sesuatu yang penting dan bermakna. Semakin menakutkan keputusan besar yang harus kita ambil dalam hidup, semakin besar kemungkinan kita harus melakukannya. Sebelum bisa menjadi ahli dalam satu bidang dan melakukan hal yang penting, kita harus terlebih dulu “bodoh” agar kemudian bisa belajar. Dan ini harus “berani malu” berulang kali. Nah kebanyakan orang justru berusaha menghindari mempermalukan diri sendiri karena hal itu memang menyebalkan. Mungkin sebagian orang ada yang ingin menghafal Al-Qur’an tapi ia sadar bahwa umurnya sudah terlalu terlambat untuk menghafal atau bisa jadi seseorang yang ingin mendaftar di pesantren tahfidz tetapi takut dan minder kalau teman-temannya sudah banyak yang memiliki hafalan sebelumnya. Maka berani malu ini sangat penting karena kalau kita tidak mau menahan rasa malu itu maka kita tidak akan bisa berkembang.
Setiap orangpasti memiliki target masing-masing. Sukses itu ada limitnya namun gagal itu tidak ada batasnya. Seorang penghafal Al-Qur’an pasti memiliki goals dalam pencapaian masing-masing. Bukan berarti apabila tidak mencapai goals tersebut artinya kita gagal. Kegagalan sama sekali bukan akhir dari perjalanan. Melainkan sebuah indikator bahwa ada beberapa bagian dari diri dan hidup kita yang perlu diupayakan lebih keras agar bisa mendapatkan hasil yang kita inginkan. Ketika kita merasa ketinggalan dalam hidup barangkali itu karena kita hanya lupa belajar dari masa lalu atau lalai memikirkan kehadiran masa kini. Penting untuk mengakui kegagalan dalam hidup saat hal itu terjadi. Dengan begitu, kita bisa mengenali apa yang perlu kita fokuskan dan dapat mengatasi keadaan dengan cara yang lebih tepat. Selama ini, kita menyamakan kegagalan dengan kelemahan atau kekalahan, padahal gagal bukan berarti kalah. Kegagalan juga bukan sesuatu yang bisa mencegahmu maju. Ubah mindset-mu dan mulailah melihat kegagalan sebagai peluang untuk tumbuh dan belajar. Hanya karena belum terjadi bukan berarti tidak akan pernah terjadi. Jadi teruslah berjuang.
Tidak ada yang sempurna secara intelektual. Kita semua tahu itu, tetapi secara emosional kita tampaknya merasa frustasi jika tidak mencapai kesempurnaan. Kita hidup
dilingkungan kompetitif dalam menghafal Al-Qur’an. Akibatnya, kita mudah terjebak dalam “perlombaan” menuju pencapaian tertentu. Berhenti membandingkan dengan orang lain. Membandingkan diri itu wajar tetapi itu buang-buang waktu. Kalau membandingkan kelebihan orang lain dengan kelemahan kita, tidak akan membuat siapapun merasa lebih baik. Padahal membandingkan diri dengan orang lain adalah cara paling cepat untuk menurunkan kepercayaan diri kita dalam menghafal Al-Qur’an. Hanya karena hafalan kita masih sedikit bukan berarti kita harus berhenti menghafal dan kemudian sibuk iri hati, kesal dan sebagainya. Namun apa salahnya membandingkan dengan orang lain? Bukankan hal itu bisa membuat kita terpacu dan terinspirasi agar bisa sebaik mereka? Tentu saja kalau niatnya begitu, membandingkan diri tidak salah. Sayangnya, niat kita membandingkan diri biasanya untuk “menghukum” diri sendiri. Jadi perbandingannya tidak adil. Kita akan selalu terlihat buruk, apalagi kalau hanya melihat kelebihan orang lain yang diluar kemampuan kita. Jangan fokus pada peringkatmu yang dibandingkan dengan orang lain. Hidup bukanlah sebuah kompetisi, melainkan sebuah perjalanan. Bagaimanapun, kita tidak bisa dapat membandingkan awal perjalanan kita dengan pertengahan perjalanan orang lain yang telah lebih dahulu menghafal. Kita harus tetap fokus dengan jalan kita sendiri, kecepatan kita sendiri, dan tujuan kita sendiri. Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Peribahasa ini pasti sudah kita dengar berulang kali sejak kecil, walau demikian kita tetap membiarkan diri percaya bahwa hidup orang lain pasti lebih baik dari kita. No problem kalau kita belum bisa mencapai kehidupan seperti orang lain, karena itu bukan tujuan kita. Tujuan kita adalah untuk hidup kita sendiri. Belajar mencintai secukupnya because to love is to stop comparing.
Mungkin kita pernah mendengar frasa “hidup adalah pengorbanan”. Memang terdengar klise, tetapi semua hal dalam hidup melibatkan pengorbanan, dan pengorbanan itu biasanya bukan hal yang menyenangkan. Seorang penghafal Al-Qur’an pasti banyak mengorbankan waktunya untuk menghafal, mengorbankan tidurnya untuk menghafal, mengorbankan waktu bermainnya untuk menghafal dan lain sebagainya. Penting diketahui bahwa khatam dan lancar tidak terbentuk dalam satu malam. Kalau ditanya sampai kapan kita harus berjuang dengan pengorbanan ini? Jawabannya adalah sampai Jannah-Nya menjadi destinasi terakhir kita. Walau kita merasa penat yang teramat hebat, walau kepala terasa cenat cenut karena tak kunjung hafal, ingatlah menghafal Al-Qur’an itu perlu diseriusin, karena ia adalah jatuh cinta yang disengaja. Jika tidak mati dalam keadaan hafalan mutqin maka paling tidak dalam keadaan berjuang murojaah untuk mutqin. Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqomahan dalam diri kita. Aamiin.
Bagi sebagian anak pesantren mungkin senang dan takut akan dihadapkan dengan waktu liburan. Karena kita akan meliburkan diri untuk memberikan jeda sementara waktu untuk istirahat. Tapi bukan berarti kita juga meliburan diri kita untuk membaca Al-Qur’an. Karena seorang ahli Al-Qur’an bukan hanya semata-mata orang yang mempunyai gelar hafidz, tetapi orang yang dimanapun dan kapanpun serta bagaimanapun keadaannya tetap membaca Al-Qur’an. Sama saja jika dikenal sebagai seorang penghafal Al-Qur’an tetapi tidak pernah dimurojaah, berarti kita jauh dari kata ahli Al-Qur’an. Kita lupa bahwa hafalan Al-Qur’an adalah amanah yang harus dijaga. Padahal murojaah adalah cara agar hafalannya tetap menjadi hafalan. Bukan semacam story instagram yang hanya bertahan 24 jam kemudian menghilang. Menambah hafalan tanpa memurojaah dan membiarkannya berantakan sesungguhnya hanya akan menambah beban. Ini yang harus kita waspadai saat liburan akan datang, kita harus menyiapkan tekad dan kekuatan untuk terus istiqomah dijalan Allah SWT dengan berbagai godaan diluar sana.
Ketika Al-Qur’an tak lagi terasa nikmat. Mungkin selama ini kita terlanjur nikmat dengan dosa dan maksiat yang membelenggu diri. Harapan kita penuh sesak dengan dunia yangterus menerus kita kejar selama ini dan tidak ada lagi tempat untuk Al-Qur’an. Kembalilah pada hafalanmu. Apa kabar hati yang pernah ditempati Al-Qur’an? Apa kabar hati yang pernah dihiasi dengan Al-Qur’an? Apa kabar malam yang pernah khusyuk dengan Al-Qur’an? Apakah dunia begitu menggiurkan sehingga kau lalai dari tujuan muliamu? Apakah kau tak merindukan setiap momen kebersamaan terhadap Al-Qur’an? Kembalilah, meskipun itu yang kesekian kalinya. Karena perasaan bersalahmu, takut, dan taubatmu kepada Allah SWT mampu membuat Al-Qur’an kembali dihatimu. Kembalilah meskipun harus tertatih. Lekas sembuh untuk orang-orang yang hafalannya berantakan karena murojaahnya malas-malasan.
Ada yang bilang jatuh itu sakit. Tapi saat kita tak bisa memilikinnya pun jauh lebih sakit. Pernah sesakit itu? Saat mengulang ayat hingga berkali-kali tapi tak kunjung lekat di ingatan bahkan dihati. Sabar, mungkin sebenarnya dia cuma pengen lihat kita berjuang. Seniat apa sih kita ingin mendapatkannya? Karena banyak pula orang yang sudah meraih malah melupa. Meski lupa itu manusiawi tapi jika sudah tau lupa tapi tidak ada niat mengingat kembali, lantas kita anggap hafalan kita itu apa? Hal lucu yang pernah kita lakukan adalah menertawakan kegagalan. “Aku baru ditinggal liburan ke rumah bentar hafalannya langsung hancur” “Biasa aja itu mah, aku ngafalin tadi pagi, ditinggal wudhu bentar udah hilang YaAllah” selucu itu menertawakan kegagalan. Mungkin terlihat lucu karena tertawa tapi batin aslinya sungguh terluka. Semua pernah gagal, dan dari gagal akhirnya kita sadar bahwa sakitnya dititik itu jangan sampai terulang kembali.
Ketahuilah bahwa ada 1 anggota keluarga yang menjadi syafaat untuk semua keluargannya, maka siapkan 1 orang saja di rumah yang akan menjadi kebanggaan dihadapan Allah SWT diakhirat. Kalau didunia sudah banyak orang tua yang bangga anaknya juara 1 olimpiade, juara kelas dan lain-lain itu tidak masalah tunjukan pada dunia bahwa kaya di dunia itu biasa, disebut orang miskin itu biasa, tapi kembali ke akhirat kita harus punya kebanggan. Orang-orang yang membanggakan ini adalah ahli Al-Qur’an. Jika kita bukan terlahir dari kelurga penghafal Al-Qur’an maka pastikan keluarga penghafal Al-Qur’an berasal dari kita. Ada 1 quotes yang mengatakan bahwasanya menghafal itu adalah bukti cinta, murojaah itu adalah setia. Tiada cinta yang sanggup bertahan tanpa adanya kesetiaan. Ketika kita sudah siap untuk menghafalkan Al-Qur’an ketika kita sudah siap untuk berjuang menghafalkan Al-Qur’an. Maka kita bukan hanya siap untuk menghafalnya saja tapi kita juga harus siap untuk memurojaahnya karena sebenarnya hakikat dari menghafal sendiri adalah murojaah. Maka dari itu marilah kita buktikan rasa cinta, rasa kesetiaan kita itu dengan selalu memurojaah hafalan yang sudah kita hafalkan. Wallahua’lam bishowab