Ditulis oleh: Farah Safirah Molyono| santri KMI ULYA 1 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil
Berdiri tegak sembari menikmati deruman ombak pada pagi itu. Benda kotak yang sedari ia pegang tak berhenti untuk terus mengambil gambar. Angin menerpa gamis coklatnya. Menikmati indahnya alam yang terpampang jelas di hadapannya. Hari ini, setelah cobaan yang menimpah dirinya, ia mencoba untuk menyegarkan pikiran dan raga. Tepat beberapa hari yang lalu, terjadi sesuatu yang sangat tidak mengenakan dirinya bahkan keluarganya.
Dua tahun yang lalu, di mana pada saat itu sang kakak telah berhasil dengan studi kedokterannya, dan pada hari itu pula mereka berencana untuk mengambil gambar. Saat hendak pergi tiba-tiba sang yanda terjatuh, tidak tahu mengapa. Yang ia tahu bahwa sang yanda tidak baik-baik saja. Terlihat dari dalam kamar, bahwasanya sang ibunda datang dengan wajah gelisahnya, membantu, menuntunnya ke arah kamar. Ia hanya diam saja, ada rasa untuk membantu namun sayang, ia di kalahkan oleh gengsinya sendiri. Itu yang membuat ia menyesal sampai detik ini.
Keadaan yang baru saja terjadi mengharuskan sang yanda di larikan ke rumah sakit dan tentu saja acara sesi foto di tunda. Melihat keadaan ini, lelaki yang bernotabene kakak dari sang ibunda mengambil tindakan. Dan di sinilah ia berada. Di sebuah pulau dengan sejuta keindahannya. Bersama kedua adik, kakek dan neneknya. Setiap waktu ia panjatkan doa supaya hal buruk tidak terjadi. Sepertinya ini bukanlah alur kisahnya, Allah lebih memilih untuk ia hidup lebih mandiri.
Mungkin makan malam akan lebih indah dengan sedikit komunikasi bersama keluarga, akan tetapi tidak untuk malam ini. Seorang pria datang tiba-tiba, mengajaknya untuk pergi ke kota tempat tinggalnya. Ia mengenal siapa lelaki tersebut, dengan begitu ia tidak merasa khawatir begitu pula bagi keluarganya.
Ia ingat betul apa yang telah kakeknya sampainya. “berdoa yang banyak, harus ikhlas, jangan nangis ya!” pikirannya mulai berkeliaran, ia tidak bisa berpikir positif. Sepanjang perjalanan ia hanya bisa melantunkan doa. Harap-harap apa yang ada di pikirannya tidak terjadi.
Cahaya bulan dan bintang bersatu menyinari bumi. Lampu-lampu menyinari jalanan. Malam ini terasa panas, tak seperti malam-malam sebelumnya. Dedaunan yang lebat, pohon yang rindang dan sawah yang terbentang luas. Hanya memori indah yang terputar dalam benaknya. Memikirkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tersenyum getir melihat situasi saat ini. Menerjang ombaknya laut dan angin malam. Menghantarkannya ke depan rumah sakit (RSUD Dr. H. Moh. Anwar). Untuk sekian kalinya ia memasuki rumah sakit tersebut. Tak dapat dipungkiri pula, sedari kecil ia dapat bolak balik rumah sakit, yang disebabkan cedera di bagian pencernaannya.
Melihat sekitar secara saksama. Semua terlihat berubah, terakhir ia berjumpa dengan bangunan yang setiap ruangannya berwarna putih dan aroma obat yang menyeruak hebat, pada saat sekolah dasar. Celingak-celinguk, ia hanya bisa diam dan membuntuti dari belakang. Selepas turun dari sepeda motor ia tidak berhenti melantunkan dan memohon pertolongan Allah. Siap tidak siap, ia harus siap. Ia merasa jika ini bukanlah arah menuju ruang inap atau bahkan UGD. Tepat di bagian kanan ia melihat ramai manusia yang tengah beristirahat. Tidak jauh dari tempat tersebut, pintu hitam terpampang jelas di hadapannya. Dengan wajah bingungnya ia masuk. Di sana terlalu banyak bilik dengan di tutupi gorden bagian kanan dan kirinya.
Langkah yang awalnya biasa saja, menjadi lebih lebar dan cepat. Tangisnya pecah, tepat saat ia melihat sang yanda terbaring lemah dengan beberapa alat yang melekat di beberapa area tubuhnya. Dapat di lihat dari raut wajah sang ibunda, jika ini bukanlah situasi yang baik-baik saja. Menangis dalam diam, hanya itu yang bisa di lakukannya. Jika boleh jujur, ia sangat amat takut dengan alat-alat medis. Mulai detik ini, Allah mengujinya dan sekeluarga untuk lebih tegar.
Terhitung tiga hari saat beliau di larikan ke rumah sakit tersebut. Sepanjang malam, sang ibunda mengontrol keadaan sang suami. Di pertengahan malam, ia berganti posisi dengan sang ibunda. Beliau menyuruh untuk berbaring bersama sang Yanda namun, lagi dan lagi rasa gengsi menyelimuti dirinya. Apakah ia tidak mengerti?, bahwa itu hanya membuatnya menyesal?. Pagi ini, tepat pukul sembilan, dokter hadir di antara mereka. Beliau menginformasikan bahwasanya, hari ini akan di laksanakan rontgen. Namun semuanya terlambat. Sang ayahanda telah meninggalkannya, keluarganya, dan bumi yang telah beliau pijak selama lima puluh dua tahun.
Seorang gadis duduk dengan tenangnya. Sedari tadi ia berdiri sembari membisikkan kalimat syahadat tepat di samping telinga sang lelaki yang menjadi cinta pertama untuk dirinya. Sang kakak hadir untuk memeriksa dan melihat kondisi omnya yang tertidur lemas. Maka dari itu, ia duduk sejenak. Sebab hal ini ia tidak dapat melihat secara langsung, saat sang yanda menghempaskan napas untuk terakhir kalinya. Bangkit dari duduk, hendak ingin melihat sang yanda. Suara tangis sang ibunda lebih dulu terdengar. Berdiri memeluk sang kakak. Dirinya tidak kuat mendengar suara tangis sang ibunda. Menurutnya itu terasa sakit bagi hatinya. Hari yang tidak pernah ia bayangkan.
Sejak hari itu, ia bertekad untuk mengangkat derajat sang ayahanda kelak. Sejak awal atau bahkan sejak sekolah dasar ia telah mengenal Alquran. Bahkan beberapa surat telah dihafalnya. Menginjak Sekolah Menengah Pertama mulailah beberapa juz yang dihafalnya. Akan tetapi ia belum berpikir untuk menuntaskannya. Tapi tidak untuk saat ini, ia sudah menetapkan untuk menuntaskan qur’anul karim. Menurutnya ini adalah pertemuan yang indah. Pertemuan yang mendekatkan dirinya pada Sang Pencipta. ”Bismillah dengan niat ini, yanda akan mendapat syafaatnya. Yanda…tunggu sebentar lagi ya? Di kemudian hari aku datang untuk memberikanmu mahkota”, batinnya dan semoga saja terkabulkan. Di sini, saat ini, saat kalian membaca karya tulis ini, mari kita panjatkan doa untuk diri kita dan untuk orang lain. Semoga kita semua dapat menyelesaikan, menghatamkan qur’anul karim. Aamiin Allahumma Aamiin.
Tidak perlu takut untuk kehilangan, karena di balik itu semua Allah telah menyiapkan sesuatu yang indah. Mungkin dengan cara ini, aku, keluargaku, atau kalian dapat mengenal Allah lebih dalam. Semangat berjuang ya!
Farah Safirah Molyono, anak yang di kelilingi kebahagiaan itulah arti dari namanya. Saat ini ia berada di MTQ Annisa Malang, sebagai pelajar atau bahkan sebagai pejuang di lembaga tersebut. Sebuah kesempatan besar baginya untuk menulis cerpen kembali. Di sini, di MTQ Annisa Insya Allah dengan sebuah tekad aku, kamu, kita akan berhasil di sini. Pancarkan sinar sampai dunia tahu betapa berharganya kita semua.