Peluhku Bersamanya

Bagikan Halaman ini

Ditulis oleh: Fina Nailatul Izzah | santri KMI ULYA 2 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil

Seorang anak benar-benar ingin membalas jasa kedua orangtuanya. Berusaha meringankan bebannya dengan membantu pekerjaanya menyuci, mengepel, menyiangi tanaman, semuanya dilakukan atas dasar rasa ingin yang teramat untuk membalas jasa keduanya, meski ia sadar bahwa hal-hal yang dilakukannya sama sekali tak cukup untuk membalasnya. Kemudian ia mendengar sebuah sabda rasul yang berkata:  Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan al-Quran.” (HR. Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).

Saat mendengar hadits tersebut hatinya bergemuruh, rasa juang untuk menghafal begitu berkobar, membakar jiwa. Ia menginginkannya, balasan setimpal atas jasa keduanya. 

Sampailah ia dititik awal perjuangan, entah kenapa ketakutan menyerang, bisikan-bisikan hasutan menerjang, bahwa ia tak bisa lagi menikmati kenikmatan dunia. Hatinya berusaha untuk tenang, pikirannya tak mau kalah, pandangan rasionalis akan tujuannya hadir melawan. Ia berhasil untuk sadar, mengalahkan hasutan, kembali pada tujuan. 

Ketika ia berada pada seperenam jalan, entah kenapa lisan begitu lancarnya berkata pongah atas keberhasilannya. Seakan semua orang yang ditemuinya diberi kabar pencapaiannya pada titik perenam awal. Kemudian ia merasa jengah, bagaimana bisa kesombongan ini ada, sedang seperempat perjalanan saja belum ia dapatkan. Menyadarkan kembali diri, bahwa bukan derajat manusialah tujuan utamanya. 

Tiba waktunya untuk kembali pada tempat dimana ia tinggal. Barang bawaan diletakkan sembarangan. Sebuah benda kecil seakan merengek meminta belaian atas dirinya. Mushaf yang ia bawa tergeletak tanpa ada sentuhan. Hari demi hari berjalan, waktu yang seharusnya ia habiskan untuk menyenangkan sanak keluarga, ia habiskan untuk mengikuti hasrat nafsu pada sang bayi kotak. Ia tersadar, bukan ini tujuan pengampu memberinya waktu untuk pulang. Ia mengambil mushaf pada tas yang ia bawa, menyentuh pelapis luarnya pelan, sungguh ia rindu membacanya, ia rindu untuk kembali menghafalkan mushafnya. Ucapan maaf keluar dari bibir untuk kedua walinya. Tak bisa ia bayangkan seberapa dalam luka yang telh ia torehkan kepada keduanya. Ia ingin memperbaiki waktu yang ia tinggalkan, berusaha untuk meringankan tugas sang wanita yang telah ia torehkan luka.

Waktu untuk berjuang kembali datang. Ia kembali pada tempat yang ia sebut pengisolasian diri dari dunia luar. Bulan demi bulan ia lakukan dengan membaca mushaf qur’an. Kitab yang menjadi pendamping dirinya sekian lama ia jadikan sebagai teman. Tetapi hal janggal ia dapatkan. Ia merasa bahwa semakin dirinya menghafal, ruang kehampaan pada dirinya semakin melebar, menyergap jiwanya secara keseluruhan. Sejenak ia hiraukan rasa tersebut. Ia masih berusaha menghafalkan, lisannya terus menerus melantunkan qur’an, sedang hatinya juga terus menerus merasa kosong. Pada akhirnya, pikirannya tak bisa hilang dari pertanyaan atas kekosongan jiwanya. Ia terus bertanya, mencari kebenaran yang terjadi atas dirinya. Ia mulai mengintrospeksi diri. Disebuah titik perjalanan, ia berkenalan dengan seorang teman, ia memperkenalkan dirinya dengan nama muhasabah. Percakapan diantara keduanya menyempit pada topik hangat atas kehampaan hatinya. Sang anak mulai bertanya pada muhasabah tentang solusi permasalahannya, muhasabah menjawab bahwa dirinya harus melakukan pendinginan raga dengan kata kunci ‘kembali’.  Ia bertanya maksud dari perkataan yang disampaikannya. Muhasabah kembali menerangkan bahwa dirinya harus ‘kembali’ pada tujuan awal ia menghafal kitab suci qur’an, ia juga harus ‘kembali’ pada niat awal menghafal mushaf, yaitu mencari ridho sang pencipta. Ia tersadar, mungkin muhasabah benar, entah kenapa dirinya pada tiga bulan ini menciptakan tujuan-tujuan baru yang melenceng dari tujuan utama. Ia kembali meluruskan niatnya, meluruskan tujuannya dan kembali pada tujuan awal. Mulai saat itu ia berjanji sebelum melakukan proses menghafal ia ingin mereset ulang pikirannya agar sampai pada pencapaian yang diinginkan.

Bibirnya kembali basah dengan ayat-ayat qur’an. Menghafal dengan caranya, menghabiskan waktu di tempat pengisolasian dengan kebiasaan rutin yang ia lakukan. Seiring waktu berjalan ia hampir dekat pada sepertiga perjalanan. Ia berusaha untuk mencapai titik itu sebelum ujian dilaksanakan. Pada akhirnya ia menyerah, ia tak sampai ditempat yang diinginkan. Ia kecewa teramat sangat pada dirinya, menyesal mengapa tak mengerahkan seluruh kemampuan dalam menghafal. Ia berusaha berpikir logis, jika memang ia tak sampai pada titik akhir yang ia perjuangkan, ia dapat memompa sebisa mungkin untuk memantapkan hal-hal yang ia dapatkan. Kemudian ia berusaha sebisa mungkin untuk mahir dengan apa yang telah ia peroleh. Tiba pada hari pengujian, ia mendapati lisannya berucap lancar dengan hafalannya. Dirinya gusar, pikirannya tak tenang, sungguh ini pertama kalinya ia mendapatkan level kelancaran seperti itu maka, ketika sampai pada setengah akhir pencapaian, ia tersendat, bibirnya kelu tak dapat melanjutkan. Pikirannya menjadi kenyataan, ia tak mungkin dapat habis menyetorkan tanpa adanya kesalahan, rasa kalut menghampiri dirinya. Waktu penyetoran habis. Ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus mengulang setengah bagian akhir. Menerima kenyataan, ia bangkit dari rasa terpuruknya, mencoba menghafalkan kembali pencapaian akhir. Waktu kedua penyetoran datang, dengan mantap ia lantunkan ayat yang terus ia ulang setiap harinya, ia berhasil selesai tanpa adanya kesalahan. Senyum terpatri di bibirnya, ia mendapatkan apa yang telah ia usahakan. 

Inilah kehidupannya dengan lika-liku menghafal, selalu berusaha mendapatkan kebaikan, tetapi ia harus sadar bahwa ia bukanlah sarang kebajikan.  

Berita Lainnya

berita

Hasil Tes Seleksi Penerimaan Santri Baru 2024/2025

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.               Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi

berita

Semarak Taubat 2023

Dalam rangka masa orientasi santri baru tahun ajaran 2023-2024, Ma’had Tahfidzul Qur’an Annisa (MTQ Annisa) mengadakan acara Taubat yang merupakan akronim dari Ta’aruf Wataujih Litholibat.