Ditulis oleh: Tiara Keysha Cynara Santoso | santri KMI ULYA 1 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil
Semua dimulai 4 tahun lalu, saat pertama kali kaki ini kuinjakkan di sebuah tempat yang menjadi awal perjuangan penuh suka dan duka ini, kalian pasti sudah bisa menebaknya, ya, dia adalah sekolah menengah pertama. Aku bersekolah di sebuah SMP swasta yang sangat mengutamakan pendidikan berbasis Al-Qur’an. Aku bersekolah disini karena mengikuti keinginan orangtua ku yang ingin menjadikanku seorang yang lebih baik, mempelajari ilmu agama, dan yang paling utama adalah seorang penjaga firman-Nya. Perjuangan ini ku awali dengan keraguan dan rasa takut setelah melihat target lulusan jenjang SMP yang diharapkan sudah bisa menghafal 10 juz. Aku ragu dengan diri sendiri karena aku berasal dari SD Negeri, mengaji pun masih kurang benar tahsin tajwidnya, dan hafalanku hanya beberapa surat dari juz 30 yang belum mutkin karena hafalan itu hanyalah sisa-sisa “peninggalan” ku saat mengikuti kegiatan TPQ di sebuah masjid saat TK. Akhirnya kucoba memberanikan diri dan percaya diri untuk memulai perjuangan ini.
Alhamdulillah, perlahan tapi pasti aku telah menghafal genap 8 juz selama 3 tahun di SMP. Walaupun tidak mencapai target lulusan, namun aku sudah sangat bersyukur karena setidaknya 8 juz yang sudah kuperjuangkan yang tak luput dari bumbu-bumbu tangis, senyuman, dan juga stress saat menyiapkan ujian tahfidz sampai nyaris sakit ini hampir mencapai target lulusan. Rasanya seperti mustahil aku bisa menghafal sebanyak ini, pikirku untuk dapat 1 juz saja pasti butuh berbulan-bulan/waktu yang sangat panjang, namun Alhamdulillah tidak ada hal yang mustahil jika Dia berkehendak.
Babak baru perjuangan ini telah dimulai beberapa bulan lalu, tepatnya pada bulan Juli tahun 2022 saat aku berpindah ke jenjang SMA. Namun sebelum itu, sempat terjadi perang hebat antara hati dan otakku, antara pilihan lanjut ke sekolah biasa atau pondok. Hati ku berkata bahwa dirinya benar-benar tidak ingin masuk pondok, karena jika mondok banyak kebebasanku yang terengut. Sedangkan otakku, dia berpendapat bahwa aku harus realistis, mengapa? Karena pertama, jika tidak mondok mau sekolah dimana? Sekolah negeri sama tidak mau nya dengan pondok karena tentunya kita tahu di zaman ini banyak sekali fitnahnya terutama di usia-usia SMA. Keinginanku adalah masuk ke sekolah islam yang mirip dengan SMP ku, namun ternyata tidak ada yang cocok. Kemudian alasan lainnya dan inilah yang menjadi awal Allah membuka hati ku untuk masuk pondok, hafalanku. Bagaimana mungkin, hafalan 8 juz yang sudah kulalui dengan penuh cobaan ini kusia-siakan. Sudah berkali-kali jatuh dan bangkit, lalu sekarang ditelantarkan begitu saja, sungguh rugi. Selain itu aku juga masih berkeinginan untuk melanjutkan perjuangan ini, tidak hanya berhenti sampai 8 juz saja. Ditambah lagi nasihat dari ayahku bahwa hal terpenting dalam menghafal Al-Qur’an itu sebenarnya bukan di menghafalnya, tapi menjaganya. Karena seorang penghafal qur’an itu diibaratkan telah memegang “tiket VIP” di tangannya, tiket apakah itu? Dialah tiket masuk surga. Akan tetapi jika dia tidak bisa menjaga hafalannya kemudian hafalan itu hilang, maka sama halnya dengan tiket itu ikut menghilang, tidak ada artinya lagi jika “penghafal qur’an” hanya sekedar gelar atau pengalaman masa lalu. Akhirnya setelah banyak merenung kujatuhkan pilihanku kepada pondok pesantren, tempat yang sangat kompatibel dan mendukung dalam melanjutkan perjuanganku.
Semua dimulai dari awal, yaitu juz 30 kemudian juz 1 dan seterusnya. Memulai muraja’ah setelah sekian lama hafalan-hafalan ini tidak kuulang. Alhamdulillah juz 30, 1, dan 2 berjalan lancar dan disinilah aku sadar bahwa 3 juz ini yang pernah kupersiapkan dengan susah payah, tangis, dan stress karena ujian tahfidz terakhir di waktu SMP tidak sia-sia, karena Allah telah menjadikanku terasa mudah untuk muroja’ah kembali juz-juz ini di waktu SMA, Alhamdulillah. Setelah selesai UTS tahfidz pertama (juz 30,1, dan 2), duri-duri serta lubang dan rintangan lainnya mulai menampakkan diri ke permukaan, permukaan itu lah juz 3 sampai juz 6. Juz 3 keatas, rasanya mereka benar-benar asing. Hanya ada beberapa halaman atau bahkan ayat yang masih kuingat, rasanya seperti ziyadah bukan muraja’ah. Terkadang saat sedang menghafal sebuah halaman, terlintas pikiran seperti ini “Wah kayaknya udah pernah ngafalin ini, kata-katanya enggak terlalu asing”. Rasanya miris sekali, karena hal ini telah menjadi bukti bahwa hafalan 8 juz ku ternyata hanyalah kenangan masa lalu. Aku telah dilalaikan oleh dunia beserta sampah-sampahnya dalam mempertahankan “tiket VIP” ku.
Juz 3 telah terlewati, duri-duri semakin menajam dan lubang semakin membesar. Ini dia juz 4 dan seterusnya. Ketika berjuang disini, rasanya seakan-akan aku sedang tersesat di sebuah hutan lebat penuh duri dan lubang, berusaha keras mencari jalan keluar. Nilaiku saat setoran menunjukkan grafik turun, jika dibandingkan dengan juz-juz sebelumnya, halaman juz-juz ini terlihat lebih ramai dengan coretan dan bundaran karena salah atau terus-terusan lupa. Apalagi cobaan bertambah di beberapa hari terakhir sebelum UAS tahfidz. Juz 4 dan 5 ini sudah berkali-kali kuulang tetap lupa atau salah. Bahkan aku harus karir juz 5 karena sudah tidak bisa melanjutkan ¼ halaman perrtama. Rasanya sungguh melelahkan, menguras tenaga dan banyak waktu. Dada terasa sempit, kepala pusing, dan mataku pun tak sanggup menahan air mata yang sudah mendesak untuk keluar. Disinilah tiba-tiba kuteringat sebuah kalimat “Kalau susah hafal, berarti harus banyak-banyak muhasabah diri. Hafalan susah masuk karena kita banyak dosa, banyak berbuat maksiat.”. Mulailah kuperbaiki diriku, lebih mendekatkan diri kepada-Nya, lebih sabar saat muraja’ah, lebih memohon lagi saat berdoa kepada-Nya karena mungkin saja doaku masih kurang serius.
Setelah muhasabah dan memperbaiki diri, Alhamdulillah karir berhasil kulewati walaupun tidak benar-benar lancar semuanya, tapi setidaknya aku sudah lulus dari ujian ini dan tidak karir lagi. Tubuhku terasa benar-benar ringan, senyuman terukir di wajah, tak henti kuucapkan rasa syukur kepada-Nya karena telah memudahkanku untuk melewati ujian ini. Aku semakin yakin bahwa kemudahan akan datang setelah kesusahan, dan semua ujian pasti ada akhirnya. Banyak juga hal yang kupelajari setelah ujian ini salah satunya tentang pentingnya sabar dan konsisten dalam menghafal dan muraja’ah, juga tidak lupa selalu berdoa agar dimudahkan.
Kuharap, aku tetap konsisten dan sabar dalam muraja’ah, mempetahankan “tiket VIP” ini sampai bisa kubawa ke akhirat nanti, kehidupan yang sebenarnya. Tetap semangat dalam ziyadah sampai bisa selesai dalam 2 tahun atas izin Allah, Aamiin ya Rabb…