Ditulis oleh: Fahma Aliya Nurhaqiqiy | santri KMI ULYA 1 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil
Ku putuskan..
Satu impian..
Aku ingin jadi hafizh Qur’an..
Ya, ini kisahku. Kisah tentang pilihanku untuk menjadi penghafal Al-Qur’an. Bermula pada saat umurku 3 tahun. Aku sudah mulai menghafal sejak saat itu, tapi aku tidak mengingatnya bagaimana aku menghafal. Yang pasti, diumur 6 tahun hafalanku sudah sampai QS. Al-Insyiqoq. Aku melanjutkan sekolah dasar di ma’had Tahfizh juga, dimana para siswa harus mencapai target sebanyak 6 juz pada saat kelulusan. Pada saat ini, aku juga tidak begitu ingat proses menghafalnya. Hanya saja pada masa ini, aku tidak pernah menyetorkan hafalanku sekali duduk. Karena jika hafalan siswa sudah diatas 5 juz, boleh menyetorkannya 2 hari. Aku pernah tasmi’ 6 juz, mulai dari jam 8 pagi sampai jam 7 malan. Sebenarnya ini karena aku terlalu banyak istirahat, dan juga ada qoilullahnya. Di SD ku ini kami menyebut juz iyyah sebagai drill. Drill 5 halaman, sampai 1 juz. Untuk persiapannya, tergantung pada tiap-tiap anak. Rata-rata drillku bisa mencapai 2 mingguan. Di masa ini aku merasa sangat berat untuk memurajaah hafalanku 1 juz sekali duduk. Umumnya di Sdku ini, 1 juz bisa sampai 1,5 jam. Kemudian, sekolah menengah pertamaku masih di lembaga yang sama, kali ini targetnya adalah 10 juz. Pada awalnya semua ini adalah pilihan orang tuaku agar aku bisa menjadi penghafal Qur’an. Awal tahap ini aku merasa sangat kagum, karena kakak disana terbiasa murajaah 1 juz sekali duduk. Tapi, aku masih belum terbiasa denan rutinitas disini. Seperti bangun jam pagi untuk tahajjud dan memersiapkan hafalan untuk disetorkan shubuh nanti. Belum ada dorongan dalam diri sendiri. Di jam Tahfizh pai, sore, dan malam aku sering tertidur, sampai-sampai aku disuruh berdiri. Tapi karena aku sudah membawa hafalan sejak SD, aku dan satu temanku ikut wisuda setara nasional di level 5 juz. Kami berdua perwakilan satu angkatan. Tapi itu biasa saja, karena itu adalah hafalan Sdku, bukan ziyadah di SMP. Di tahap ini saat-saat paling disayangkan, karena aku sangat membuan-buang waktu. Kelas 7, rutinitasku hanya tidur, makan, ngobrol, jajan. Dan begitu seterusnya. Apalagi di bulan maret tahun 2020 seluruh Indonesia disuruh lockdown. Selama 8 bulan aku di rumah tanpa menambah hafalanku. Karena aku belum tasmi’ terminalan. Tasmi’ terminalan adalah tasmi kelipatan 5. Sebelum terminalan kami tidak diperbolehkan ziyadah. Jadi selama 8 bulan di rumah aku, tidak pernah ziyadah. Sampai akhir tahun 2020 seluruh siswa hanya menyetorkan murajaah mereka karena selama liburan tahfizh tidak berjalan dengan baik. Aku menghabiskan 1 tahun masa kelas 8 ku hanya mendapatkan 3 juz saja, karena waktuku lebih banyak dipakai untuk murajaah hafalanku yang hilang (setiap hari aktifitasku hanya bermain hp, sehingga hafalanku hilang). Di kelas 9 aku sudah mulai berfikir, jika aku terus seperti ini kapan aku akan menyelesaikan hafalanku? Sedangkan temanku yang kami sama hafalannya ketika masuk sudah mendahuluiku 2 juz. Guruku pernah berkata “lebih baik dipaksa masuk syurga dari pada dibiarkan masuk neraka, kita tidak mendapatkan jaminan kelak kita akan masuk syurga atau tidak. Tapi, Al-Qur’an menjamin masuk syurga jika kita menjadi ahlul Qur’an” Masa sekolahku hanya tersisa 1 tahun, sedangkan aku baru mendapatkan 6 juz, masih tersisa 4 juz. Sedangkan di kelas 9 itu adalah masa paling padat. Kami ada Tugas Akhir (seperti; penelitian, menulis buku, resume, creator video, membuat produk dll),persiapan ujian sekolah dan madrasah dan juga ada tasmi akhir, dimana semua hafalan kami akan ditasmikan secara keseluruhan. Sangat memberatkan. Apalagi dari hasil evaluasi guru, banyak diantara kami yang masih kurang dari target, maka sejak saat itu, jam Tahfizh kami ditambah menjadi 4x. Dengan tangis kami melalui semua itu. Banyak pengorbanan yang kami curahkan, kami tidak tidur siang karena mengerjakan Tugas Akhir Sampai ashar. Setelah ashar sampai jam 5 kami langsung masuk jam Tahfizh. Sejak kelas 9, kami mau tidak mau harus bangun jam 3, karena hanya itu waktu yang kosong untuk menyiapkan ziyadah. Padahal sebelum itu, kami terbiasa bangun jam 4. Di bulan desember, ketika kami sudah menyelesaikan Tugas Akhir, waktu Tahfizh kami ditambah kembali menjadi 5x dalam sehari kami sebut takhosus. Pada bulan ramadhan, sekolah kami mengadakan dauroh Qur’an (karena kami sudah selesai belajar dan ujian madrasah). Dimana dalam sehari kami ada 7x jam Tahfizh. 3 tahun kulalui dengan susah, susah, dan susah. Aku melanjutkan SMA di lembaga yang berbeda dari SD dan SMP. Sekolah itu lebih ke akademik. Walaupun boarding school. Sejak jam 6.45 kami sudah kumpul di lapangan dan memulai KBM hingga jam 12.00. dilanjutkan jam 13.00-14.00 dan jam 16.00-17.00 untuk belajar kepondokan. Aktifitas disana sangat-sangat padat. Hanya saja disana tidak diprioritaskan ke Tahfizh. Jam Tahfizh hanya dari jam 05.00-05.45 saja dalam sehari. Tiap harinya kami tidak ada murajaah hanya ziyadah hingga khatam. Jujur saja, dulu pada saat aku SMP aku tidak suka menghafal dan murajaah, namun ketika aku sudah terbiasa dengan Al-Qur’an justru aku merasa ada yang hilang ketika aku masuk SMA yang seperti itu. Aku takut hafalan yang selama ini aku perjuangin akan hilang. Ini adalah salah satu alasanku unutk sekolah di MTQ Annisa.