Ditulis oleh: Arges Tazharus Riyadina Fitriansyah | santri KMI ULYA 1 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil
Menghafal Al-Quran merupakan hal yang diimpikan banyak orang, tak banyak orang yang diberi kesempatan untuk dapat menghafalkannya. Akan tetapi saya telah diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta untuk menjadi salah satu penjaga kalam-Nya. Tentu saja dengan banyaknya pengorbanan yang telah saya lalui dari keringat, air mata, hingga tenaga, juga jiwa yang dikuras habis-habisan.
Saya menghafal Al-Quran atas kemauan sendiri tanpa ada paksaan siapapun, sudah pastilah semangat awal seorang penghafal Al-Quran tak dapat diragukan lagi, semangat membara yang membakar segala rintangan yang ada dihadapannya.
Tak mudah memang memulai dari nol, ketika saya mulai masuk pada perkumpulan penghafal Al-Quran saat sekolah dasar sekitar kelas 5, saya dipandang rendah karena juz 30 saja saya belum semua hafal, malu? Tentu, tapi apa boleh buat, saya balas dengan sebuah senyum terindah yang mampu saya buat sambil merapal di dalam hati, saya akan menjadi lebih baik tentunya, semua orang tahu segala hal butuh proses dan saya yakin saya juga bisa sampai pada tahap itu.
Memasuki sekolah menengah pertama saya memutuskan masuk pondok pesantren dengan tiga sistem pendidikan, yakni umum, agama, dan tahfidz. Tak ada masalah awalnya hingga tiba-tiba saya dimasukkan kelompok halaqoh Quran A yang mana memiliki target yang jauh sekali dari sekolah dasar dan kemampuan yang saya rasa ada pada diri saya. Frustasi? Jelas, pikiran saya kosong, melanglang buana entah kemana. Hanya menangis yang bisa saya lakukan, dan pastinya seorang diri jauh dari orang tua.
Saya merasa bagai dihempaskan dari langit, bahkan untuk membaca seayat saja saya tak kuasa, gemetar tangan saya untuk membuka lembaran firman-Nya, belum sampai terucap barang seayat, air mata saya mengucur tanpa dapat dikendalikan, entah apa yang membuat saya setakut itu.
Hingga suatu hari tanpa sengaja saya bertemu ibunda saya, tak tahan saya berlari menghampirinya bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya hingga lemas tubuh saya dibuatnya. Tak menjawab satupun pertanyaan yang diajukan ibunda saya, saya hanya diam sambil menangis. Ibunda saya memutuskan membawa saya pulang untuk menenangkan diri saya yang berantakan kala itu.
Orang tua saya tak pernah menyalahkan apapun yang saya perbuat, hanya kalimat-kalimat penenang dan penyemangat yang mereka ucapkan selama saya di rumah. Ketika dirasa hati saya mulai tenang, saya kembali ke pondok dengan semangat baru dan hati yang lebih siap, saya pun melanjutkan hari-hari saya sebagaimana didalam pondok biasanya.
Semua masih aman hingga suatu hari saya kehilangan arah dan tujuan, hal itu terjadi ketika saya menginjak bangku sekolah menengah saat hendak kelulusan, saya tak ada minat lagi. Karena saya bingung untuk apa semua ini, tapi orang tua telah menaruh harap besar pada saya, saya tetap melanjutkan hafalan saya dengan sedikit ogah-ogahan.
Saya merasa bosan dengan aktivitas pondok yang hanya seperti itu-itu saja, saya ingin keluar dari lingkungan pondok dan mencoba hal baru yakni masuk sekolah umum. Saya meminta izin orang tua untuk melanjutkan sekolah menengah atas saya di luar, tak langsung menjawab mereka hanya selalu memintaku untuk sholat supaya diberi jalan yang tepat. Ada sedikit rasa tak rela jika harus membiarkanku masuk sekolah umum. Hingga Allah memantapkan hati orang tua saya untuk memasukkan saya di pondok khusus tahfidz yang anda lihat sekarang ini, MTQ An-Nisa.
Saya masuk dengan setengah hati tak ada niat apalagi keinginan kuat yang mendasari diri saya. Hingga masa orientasi yang menyadarkan saya untuk apa saya hidup, kenapa harus menjadi penjaga kalam-Nya dan banyak hal yang menumbuhkan keinginan dalam diri saya.
Saya tak sabar menanti masa selesainya orientasi supaya saya bisa segera menghafal kembali kalam-Nya. Atas hidayah-Nya melalui pondok ini sifat-sifat buruk dalam diri saya mulai luntur sedikit demi sedikit serta banyak ilmu-ilmu yang bisa saya ambil dapat membuka kembali hati saya yang kian hari kian tertutup akibat dosa-dosa dan kelalaian saya sebelumnya.
Semua berjalan baik, sangat baik malah, lingkungan yang sangat mendukung serta kawan-kawan baik yang selalu mengelilingi saya. Meski sempat saya terjatuh di awal, tak sampai terpuruk karena nasehat-nasehat yang diberikan orang-orang disekeliling saya. Saya tahu saya tertinggal jauh dan saya sadar jika kau jatuh dan tak segera bangkit maka kau akan semakin jauh tertinggal. Semangat saya terpompa dan terbakar kembali, dengan seizin-Nya saya dapat mencapai target-target yang diberikan.
Pastilah ada saat-saat dimana bosan dan suntuk menghampiri, jika hal ini terjadi terkadang saya memberi sedikit apresiasi atas diri saya dengan membeli apa yang saya mau atau menambah waktu istirahat sedikit, juga sedikit menghibur diri, mungkin dengan berbincang-bincang sebentar dengan kawan atau membaca buku-buku yang bermanfaat.
Saya berusaha mati-matian mengusir hal-hal atau sifat-sifat buruk saya dimasa lampau demi mengingat perjuangan orang tua saya serta kewajiban-kewajiban saya sebagai seorang muslim serta hamba-Nya. Saya juga banyak dibimbing oleh orang-orang sekitar baik dari ustadzhah-ustadzhah maupun kawan-kawan yang saya cintai karena-Nya tentunya.
Saya amat bersyukur atas jalan yang diberikan Sang Pencipta untuk saya, tak ada lagi kata menyesal ataupun hati yang setengah-setengah kini. Saya berusaha seikhlas mungkin dan meluruskan niat saya kembali untuk datangnya saya di tempat ini.
Sekian yang bisa saya ceritakan mengenai sedikit perjalan menghafal Al-Quran yang saya lalui, maafkan banyaknya salah serta kurang pandainya saya dalam menyampaikan, terimakasih atas waktu anda sekalian untuk membaca sepenggal tulisan ini.