Ditulis oleh: Fairuz Syakira Nurhaqiqiy | santri KMI ULYA 2 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil
Kerja keras adalah kerja yang lebih membutuhkan banyak tenaga, berusaha mendapatkan yang diimpikan dengausaha yang keras seperti contohnya belajar maupun menghafal. Aku mulai mempraktikkan sebuah kerja keras saat aku berumur enam tahun yang dimana aku sudah memasuki sekolah dasar berbasis Al-Qur’an, mulai menghafal ayat – ayat asing dengan semangat, pulang sekolah kembali menghafal halaman untuk disetorkan kembali esok harinya. Dengan dibantu murotal Al-Qur’an, mendengarkan bacaan umi kemudian baru menghafal sendiri dan menyetorkan kembali ke umi untuk mengoreksi bacaan. Kemudian sampai di kelas tiga, juga saat itu adalah pertama kali sekolah mengadakan wisuda tahfidz. Alhamdulillah aku berhasil mendapatkan tiga juz dan bersanding dengan kakak kelasku. Kemudian, dikelas enam saat kelulusan aku mencapai tujuh juz hafalan. Sebelum diwisudakan tentu sudah melakukan tasmi’ sebanyak juz yang akan diwisudakan.
Di sekolah menengah, yang kebetulan sekolahku bukan di indonesia, aku mulai kerja kerasku sendirian, tidak lagi dengan menyimak bacaan umi, tetapi dengan ustadzah, atau aku mengeja sendiri. Selain aku jadi berusaha sendiri, dengan perbedaan bahasa dan metode aku butuh beradaptasi lebih lama lagi. Mencari masyayikh yang bersanad, bolak balik ganti guru tahfidz, sudah selesai satu juz dengan guru A, ketika berganti guru aku kembali mengulang hafalan dari awal. Sampai menemukan ustadzah yang cocok. Ingat sekali, ustadzah ummu hasyim namanya. Yang ketika aku salah satu ayat, ataupun tertukar antara ayat di halaman satu dan dua, beliau memberikan cara menghafal yang lebih mudah, yang menurutku luar biasa banget efeknya. Dan ketika teman hafalanku bertanya dari mana beliau mempelajari metode itu, beliau menjawab bahwa beliau menghafal dan mempelajarinya sendiri yang kemudian dia ajarkan kepada murid muridnya (masha Allah). Banyak orang yang menghafal Qur’an tidak memahami metode yang tepat untuk dirinya sehingga dia merasa sulit karena hanya mengulang ulang bacaan tanpa memahami artinya juga. Walaupun mungkin memang kemudian hafal, tetapi boleh jadi mudah tertukar antar ayatnya yang kebanyakan memang hampir sama entah awal halaman, awal ayat, atau pertengahannya.
Sampai dititik aku mencintai, bahkan dengan sangat, tiba – tiba berubah ketika menghafal Qur’an hanya satu minggu sekali. Padatnya jadwal pelajaran jadi salah satu alasan malasku menghafal saat itu. Bahkan sempat tergeletak rapi di atas meja belajarku lama, tetapi tidak aku sentuh sama sekali. Yang aku pikirkan ketika melihat Qur’an tersebut hanya ‘sebentar ya, nanti setelah aku selesai belajar ini’ ‘sebentar ya, aku mau baca buku ini dulu’ ‘sebentar ya, aku pusing habis baca buku pelajaran, aku mau main hp dulu’ sampai akhirnya berbulan bulan tidak tersentuh. Miris kalau mengingatnya. Waktu itu kenapa bisa berbulan bulan, karena setiap kali aku akan ujian aku memang izin kepada guru tahfidzku untuk libur selama ujian karena padatnya jadwal, kemudian aku akan mulai hafalan kembali saat ujian telah selesai. Tapi saat itu malasku jadi berkelanjutan, aku tidak mengabarkan ustadzahku bahwa ujian telah selesai. Bermalas – malasan yang terkadang kegiatan yang aku lakukan itu membuang waktuku. Bahkan setiap menelepon umiku, beliau selalu mengingatkan aku dan memberikan motivasi baru supaya aku mau untuk menghafal Qur’an kembali.
2021, aku pulang. Lebih tepatnya kembali melanjutkan belajar di indonesia. Janjiku pada umi, untuk tetap melanjutkan hafalan kepada guru tahfidzku yang ada di negeri seberang. Karena saking lamanya aku tidak menyetorkan hafalan, aku menghafal ayat – ayat itu seperti asing kembali. Guruku senang sekali waktu itu saat aku mengabarkan bahwa aku ingin melanjutkan setoranku. Walaupun jadwalnya tetap satu kali dalam seminggu, tapi satu kali pertemuan aku dikasih hafalan 5 halaman sekaligus. Dengan setiap pertemuan aku juga diajarkan tajwid, diperbaiki bacaan, diceritakan tentang ayat itu, dan cara – cara menghafal Qur’an yang mudah. Sampai akhirnya aku dimasukkan ke pondok. Awal mula, aku masuk pondok yang ada di pedalaman, mereka menargetkan anak muridnya untuk selesai 30juz terlebih dahulu, baru memutqinkan. Sedangkan menurutku, aku kurang setuju dengan cara ataupun metode seperti itu karena sama saja ketika saat menutqinkan itu seperti kita menghafal baru. Itu yang menjadi salah satu alasanku yang kemudian pindah pondok pesantren. Iya, di MTQ annisa, dengan metode yang hampir sama saat aku sekolah dasar dulu. Selesai satu juz dimutqinkan dulu baru boleh menambah. Juga ada tasmi’nya per 3 bulan. Aku mulai kembali menekuni apa yang aku tuju, yang aku inginkan dan dambakan. Pelan -pelan mulai kembali dari awal. Sambil mengombinasikan cara menghafal saat aku sekolah dasar dulu, maupun cara dari ustadzahku di negeri seberang.
Untuk aku, teman – teman seperjuangan yang sedang bekerja keras mewujudkan satu – satu impiannya, semangat. Kadang kita perlu menangis terlebih dahulu untuk mendapatkan sesuatu. Jatuh – gagal – bangun dulu untuk mewujudkan mimpi -mimpi itu. Kadang rasanya kita sudah maksimalkan usaha kita, tapi kok Allah memberikan jawabannya tidak sesuai dengan harapan. Gakpapa, Allah mau kita lebih memaksimalkan lagi. Mengalahkan rasa malas lebih sulit daripada mengalahkan musuh. Karena kadangkala, sebenarnya yang membuat kita kalah adalah rasa malas itu sendiri. Membiarkan kita hanya menumpuk mimpi dalam benak, menjalankan kerja keras dalam tidur nyenyak. Dan sebenarnya, musuh terbesar kita dalam mewujudkan mimpi – mimpi kita adalah rasa malas itu sendiri. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan, keberkahan kepada kita dalam perjalanan kerja keras ini.