Ditulis oleh: Fatimah Warotsati Jannah | santri KMI ULYA 1 dalam memenuhi tugas Literasi Libur Semester Ganjil
“Dekk.. kemarin Ummi dikabari sama Ustadz Bashori, Alhamdulillah Kakak udah selesai khatamannya. Dan total salah keseluruhannya dibawah 10…” Sepenggal kalimat Ummi siang tadi tak henti-hentinya terlintas dalam benakku. Disatu sisi, aku terkejut, benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin hanya kurang dari 10 kesalahan saja dari 30 Juz? Kecuali orang yang benar-benar telah mutqin. Diriku bertanya-tanya dalam hati, Sekuat itukah daya ingatnya? Sesering apakah dia mengulang hafalannya? Dan beberapa waktu kemudian aku teringat bahwa ketika dia diam, bukan melamun dengan tatapan kosong. Tapi Al-Qur’an yang dibacanya, tak membiarkan lisannya menganggur walau hanya sekejap. Secara tidak langsung aku mengaguminya, dan aku menargetkan diriku menjadi sepertinya. Disisi lain.. aku sangat kesal mendengar hal ini. Aku tak terima. Bukan salah Ummi ataupun Kakak, terlebih Ustadz Bashori. Jujur saja aku sendiri tak bisa menyalahkan siapapun disini. Anganku melayang mencari lembaran memori milikku pada 2 tahun silam. Dimana hatiku telah mantap untuk mengikuti program tahfidz yang diadakan oleh pesantren. Takhassus namanya. Suatu program menghafal dengan target 1 tahun khatam. Program peminatan untuk santri yang ingin fokus pada hafalan. Tidak mengikuti KBM kelas 2 karena menggantinya dengan terlaksananya promram ini. Berlokasi jauh dari pemukiman para santri. Karena membutuhkan suasana yang tenang dan tentram agar konsentrasi dalam menghafal. Namun, yang terjadi tidak sesuai harapan. Covid-19 hadir dan membatalkan semuanya. Program ini dihapuskan secara mendadak. Memusnahkan mimpiku menjadi anak pertama yang berhasil menuntaskan hafalannya dan mutqin dalam keluarga. Dan terbukti sekarang, Kakakku mengambil alih. Dalam hatiku tak terima, “Aku yang menargetkan, dan Kakak yang meraihnya. Huhhfftt…” Diriku termakan api cemburu yang membuatku tanpa sadar marah pada takdir-Nya. Mendengar kabar ini bukannya semangat malah semakin malas. Hilang sudah keinginanku menghafal. Muncul rasa enggan sekali untuk menambah hafalku. Mendengarkannya saja aku enggan, terlebih lagi ketika membacanya. Sering kali aku malah menggambar diatas kertas tarjamah dalam tafsirku. Tak peduli meski dalam waktu dekat ada UAT yang menantiku disana. Ujian Akhir Tahfidz untuk menguji hafalan yang kudapat selama SMP.
Hingga aku disadarkan oleh satu peristiwa dimana ketika dengan gemetarnya kugenggan microfont ditanganku saat melantunkan Juz terakhir sewaktu UAT. Seakan lupa isi dari Juz tersebut. Seperti tak pernah menghafalnya. Kenapa daya ingatku tak bisa kuajak kompromi? Dan qodarullah siang itu ramai sekali suara adik kelas yang berlalu-lalang didepan masjid. Sesekali menoleh padaku, diam, memperhatikan, kemudian membisikkan sesuatu kepada temen seseorang disampingnya. Tentu saja, hal ini membuatku semakin tak fokus. Mereka bersiap untuk berangkat KBM selepas dhuhur sebenarnya. Kukira mereka hanya lewat saja di depan masjid, tempatku berada saat ini. Ternyata, mereka malah duduk dan bersenda gurau diteras masjid, seangkatan pula. Aku saja malu disaksikan temanku sendiri. Apalagi mereka yang hanya sebatas adik kelas. Ditambah hawa kota berjulukan pendekar tersebut yang membuatku berasa ingin segera mandi. Makin tak fokus saja dibuatnya. Aku tak betah. Aku tak tahan lagi. Seketika tubuhku melemas, kepalaku pusing dan perutku mual. Dengan kasarnya kuletakkan microfont yang masih menyala dikarpet yang menjadi alasku untuk duduk. Menciptakan suara yang berhasil membuat si adik kelas terdiam serempak. Menoleh dan memandangiku dengan raut wajah ‘…apaan sihh nih orang?! Gak jelas banget lohh…” Tak kuhiraukan, aku bangkit dari dudukku dan menghampiri Ustadzah penguji yang duduk jauh dariku. Tak kuasa lagi kelopak mataku membendung air yang sudah meminta untuk terjun dari tadi. Kutumpahkan semua dihadapan beliau, aku menangis sejadi-jadinya. Sayup terdengar olehku suara guru BK yang dengan tegas menasehati mereka agar segera pergi menuju ruang kelas masing-masing. Pikiranku dibawa melayang pada episode kehidupan beberapa waktu lalu. Dimana aku marah akan keberhasilan yang diraih Kakakku. Dan kabarnya saat itu dia tengah mewakili Jawa timur diajang perlombaan MHQ 15 Juz. Menyesali segala sesuatu yang telah berlalu, sudah terlambat. Dan kini aku harus berubah, kembali meluruskan niatku untuk apa sebenarnya diriku menghafal. Bukan menghafal, menjaga kalam-Nya. Memang sudah seharusnya begitu bukan?
Dan saat ini, menjadi bagian dari MTQ Annisa adalah pilihanku. Mencoba menata ulang kembali mimpi-mimpiku yang sempat terpendam begitu dalam akibat kemarahan dan kesombonganku diwaktu lalu. Meluruskan niat dan mengumpulkan semangat untuk kembali berjuang menjadi hamba terpercaya untuk menjaga kitab-Nya yang suci nan mulia. Karena ini adalah amanah yang amat besar untuk dijalani. Bukan hanya sekedar menghafal tetapi juga menjaga serta mengamalkannya.
Singkat cerita, hatiku yang dulunya enggan walau hanya sekedar mendengarkan lantunan ayat demi ayat dari al-qur’an, kini saja benakku berusaha untuk terus memikirkannya. Tak membiarkan bibirku diam ketika berjalannya waktu halaqoh. Aku dibuatnya candu sehingga dapat menargetkanku muraja’ah 2 Juz setiap harinya. ‘Gapapa 2 Juz dulu,, yang penting istiqomah. Ntar klo masih ada sisa waktu yaa nambah.’ begitu pikirku. Sayang, semangat yang baru berumur dua setengah bulan ini memudar. Memasuki bulan September, tepatnya 15 hari menjelang pelaksanaan UTS tahfidz. Lisanku seakan terasa lengah. Melafalkannya tanpa niat yang lurus dan asal-asal saja. Membuatku mendapat skor ujian yang menurutku amat jelek. Mengambil waktu lebih awal dari yang dijadwalkan menjadi pilihanku untuk ujian kali ini. Dan jujur saja, kuakui memang persiapanku belum matang, hanya saja aku ingin segera bersantai. ‘6 Juz doang loh gapapa kali duluan. Kalo sesuai jadwal ntar malah yang ujiannya cuma 3 Juz waktunya kesita gegara aku. Mending aku duluan. Toh waktu SMP sudah pernahkan?.’ Lagi dan lagi, kesombongan mengambil alih dalam diriku. Seperti yang terjadi pada kebanyakan orang. Yang meremehkan dan memandang Al-Qur’an sebelah mata, aku menangis begitu tau nilai yang kudapat. Tanpa sepengetahuan banyak orang pastinya. Karena aku membayangkan betapa malunya diriku kala mengetahui nilaiku ini. Berbagai kalimat negative bermunculan satu persatu. ‘Ngapain majuin jadwal kalo emang belum siapp, malu kan ujung-ujungnya?! Jelekkan nilainya?!’ Adalah kalimat yang paling menghantuiku. Aku terdiam, menyesal untuk kesekian kalinya. Bingung harus bagaimana lagi. Susah payah kubangun kembali sesuatu yang sempat roboh. Semangat. Niat ikhlas.Sedang kubangun memang. Baru setengah perjalanan saja bangunan itu roboh kembali. Kali ini maksiat dan hawa nafsu pemenangnya. Aku menghiraukannya dan menjalani hari demi hari diasrama apa adanya. Tanpa memikirkan ulang bangunan yang kini benar-benar telah roboh. Arsitek macam apa aku ini? Membiarkan desainnya terbengkalai begitu saja, roboh membiarkannya. Bukannya membuat desain baru yang lebih indah ketika mata memandang dan hati nyaman ketika singgah, malah melihatnya dengan tatapan kosong. Hingga perantara-Nya menyadarkanku bahwa aku salah. Perantara-Nya itu bertanya padaku “Fatimah kenapa sihh, kok sekarang ngajinya nggak lancar? Padahal dulu nggak kayak gini loh?” Tertampar. Termenung. Hingga aku tersadar, bukan hanya kalam-Nya tapi yang menciptakan juga telah jauh dariku. Aku yang menjauh lebih tepatnya. Tanpa kusadari. Aku terlalu mengejar cinta yang dimiliki para penduduk bumi. Terlalu terobsesi dengan pujian yang terlontar dari mulut manusia. Betapa bodohnya aku kali ini.
Sekedar menghafal tanpa memuraja’ah. Tanpa menyadari cinta yang tak pernah bohong seperti “Hafalan Al-Qur’an”. Karena ketika semakin disayang ia akan semakin setia dan tidak pernah menyakiti orang yang mencintainya. Tapi ia sangat pencemburu. Buktinya, ketika ditinggalkan sebentar saja ia akan langsung pergi tanpa menyapa. Seperti diriku yang meninggalkannya demi cinta dunia. Terlalu sibuk mengeluti dunia tanpa memikirkan perasaan Al-Qur’an. Dan bukan hanya “Hafalan”. Bahkan ketika seseorang yang bukan pengahafal Al-Qur’an, sehari saja tidak membacanya, maka bacaannya pun akan terasa sangat sulit. Dan Al-Qur’an juga tidak ingin di duakan. Buktinya ketika kita muraja’ah lalu memikirkan hal lain selain Al-Qur’an maka bacaanmu akan kemana mana. Betul tidak?!
Percayalah, bahwasanya perjuangan yang paling manis adalah membersamai Al-Qur’an. Dan ingatlah bahwa penghafal Al-Qur’an yang terbaik bukan dia yang bisa menghafalkannya dengan cepat, bukan juga dia yang paling lancar hafalannya. Memang benar jika hafalan itu banyak, lancar dan fasih ketika membacanya maka itu sangat hebat. Karena dibalik itu pasti ada usaha yang luar biasa. Tapi perlu diketahui ada yang lebih baik daripada itu, yakni bagaimana Al-Qur’an telah hadir dalam dirimu atau belum?
Kuberi satu quote yang mungkin akan sangat menampar kita. Didapat dari Syekh Ahmad Isa Al-Ma’sharawi, katanya “Tidak perlu memamerkan pada orang lain sudah sampai mana bacaan dan hafalan Al-Qur’anmu, biarkan mereka melihat Al-Qur’an terpancar dari dirimu, Karena sejatinya yang perlu diperhatikan bukanlah sejauh mana kita membaca Al-Qur’an, akan tetapi sejauh mana Al-Qur’an menjadi bagian dari dirimu.”
Ustadz Adi Hidayat juga pernah mengingatkan kita dalam ceramahnya. “…dan hafalan yang bagus itu bukan ketika ditanya pandai menjawab, mau dengan posisi mau dengan ayat keberapa, mau diacak, mau diurut bukan itu yang diinginkan. Kata Allah, hafalan yang bagus itu adalah hafalan yang ketika selesai dihafal mampu mengingatkan anda kepada Allah. Itu yang diinginkan oleh Allah, bukan berapa banyak hebatnya bisa menghafal, cepatnya menjawab. Kalau tak mampu mendekatkan diri kepada Allah, maka nilainya belum sempurna. Adapun pahala tergantung pada keikhlasan ketika dia menghafal. Karena itu, orang-orang yang hafal Al-Qur’an… oleh Al-Qur’an diingatkan lagi. Jangan sampai hafalan anda itu hanya menjadi hafalan di dalam jiwa, tapi tak mampu mengingatkan jiwa itu kepada Allah.”
Mungkin cukup ini yang dapat menjadi kisahku di kesempatan sekarang. Bukan apa-apa, hanya berbagi kisah agar panjenengan para pembaca setia tak menjadi seperti diriku. Menargetkan sesuatu dengan harapan dipuji manusia. Terlihat Ma Syaa Allah namun sebenarnya Astagfirullah. Dan jangan biarkan sesuatu yang engkau bangun itu terkalahkan oleh apapun. Terlebih hawa nafsu. Sekian dari saya, Fatimah. Terima kasih untuk waktu yang njenengan relakan untuk membaca karya tulis libur semester saya kali ini, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku dan njenengan yang membacanya. Dan maaf apabila karya tulis ini sempat menyinggung njenengan ketika membacanya. Saya berharap, dengan ini saya bisa menjadi penghafal Al-Qur’an seperti yang seharusnya. Meniatkan ikhlas karena Allah ta’ala. Karena menghafal Al-Qur’an bukan menuruti hawa nafsu, dan bukan hanya sekedar predikat ataupun julukan sebagai hafidz/ah. Makadari itu, ada kata-kata orang bijak yang bunyinya seperti ini. “..bentuk cinta kita pada Al-Qur’an adalah dengan menghafalnya. Akan tetapi, bentuk setia kita pada Al-Qur’an adalah dengan cara muraja’ahnya. Jadilah penghafal Qur’an sampai kita mati, bukan sampai kita lulus”